KERATON KASULTAN YOGYAKARTA




Selama menjadi keraton kasultanan sampai sekarang Keraton Kasultanan Yogyakarta telah dipimpin oleh 10 Sultan. Kesepuluh sultan tersebut adalah :
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono I memerintah dari tahun 1755 sampai dengan tahun 1792
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono II memerintah dari tahun 1792 sampai dengan tahun 1810
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono III memerintah dari tahun 1810 sampai dengan tahun 1813
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono IV memerintah dari tahun 1814 sampai dengan tahun 1822
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono V memerintah dari tahun 1822 sampai dengan tahun 1855
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono VI memerintah dari tahun 1855 sampai dengan tahun 1877
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono VII memerintah dari tahun 1877 sampai dengan tahun 1921
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memerintah dari tahun 1921 sampai dengan tahun 1939
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono IX memerintah dari tahun 1939 sampai dengan tahun 1988
  1. Sri Sultan Hamengku Buwono X memerintah dari tahun 1988 sampai dengan sekarang


Terbentuknya keraton kasultanan yogyakarta sangat panjang yakni dimulai dengan keberadaan Ki Ageng Pemanahan putra Ki Ageng Ngenis atau cucu ki Ageng Selo, pada tahun 1558 M mendapat hadiah dari Sultan pajang karena jasanya mengalahkan Arya Penangsang berupa tanah di wilayah Mataram yang kemudian pada tahun 1577 Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di sekitar Kotagede. Selama hidupnya Ki Ageng Pemanahan tetap setia kepada Sultan Pajang. Beliau kemudian meninggal pada tahun 1584. Putera Ki Ageng Pemanahan yang bernama Sutawijaya diangkat oleh Sultan Pajang menggantikan Ayahnya sebagai penguasa mataram.
Namun karena ingin memiliki daerah kekuasaan yang lebih yakni meliputi seluruh pulau jawa Sutawijaya enggan tunduk pada Sultan Pajang yang mengakibatkan kerajaan Pajang ingin merebut kembali kekuasaan di mataram yang dipegang oleh Sutawijaya hal itu dilakukan Sultan pajang pada tahun 1587. Pada saat itu juga Badai letusan Gunung Merapi menerjang dan menghancurkan Pasukan yang akan mengempur keberadaan Sutawijaya sedangkan Sutawijaya sendiri selamat dari hantaman badai tersebut. Akhirnya setahun kemudian atau tahun 1588 Mataram menjadi kerajaan dan Sutawijaya menjadi sultan dengan gelar Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama atau sering disebut Panembahan senopati yang berarti panglima perang dan pengatur kehidupan beragama.
Panembahan senapati memerintah hingga wafat tahun 1601 yang kemudian digantikan puteranya 
Mas Jolang yang lebih dikenal dengan Panembahan sedya krapyak, selanjutnya digantikan Pangeran Arya Martapura tahun 1613, dan dikarenakan sering mengalami sakit digantikan kakaknya Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman atau disebut Prabu Pandita Hanyakrakusuma atau lebih dikenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada pemerintahan Sultan agung inilah mataram mengalami kemajuan baik dibidang politik, militer, kesenian, kesusasteraan dan keagamaan bahkan hukum filsafat dan astronomi juga sudah mulai di pelajari. Setelah sultan Agung wafat pada tahun 1645 digantikan oleh putranya Amangkurat I dan mulai mengalami kemunduran karena lebih banyak konflik antar keluarga sendiri dan saat itu VOC mulai menggunakan momentum tersebut untuk menjalankan politiknya. Dan sebagai akibatnya pada tanggal 13 februari 1755 muncul perjanjian Gianti yang isinya membagi kerajaan mataram menjadi 2 kekuasaan yakni disebelah timur sebagai Kasunanan Surakarta dan sebelah barat menjadi Kasultanan Yogyakarta. Untuk pertama kalinya sesudah perjanjian Giyanti ini Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas kasultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senapati Ingalaga Abdulrakhman sayidin panatagama khalifatullah atau sering disingkat Sultan Hamengku Buwono I.
Dengan menempati area seluas 1,3 km persegi keraton dibangun dengan konsep kosmologi jawa yakni alam terbagi menjadi 3 bagian yakni atas sebagai tempat para dewa kemudian bagian tengah sebagai tempat manusia dan bawah sebagai tempat kekuatan jahat, sedangkan bagian atas dan bawah dibagi lagi masing masing menjadi 3 bagian yang seluruhnya jadi 7 bagian. Bagian tersebut adalah :
  1. Lingkungan Alun alun utarasampai siti Hinggil utara
  1. Keben atau kemandungan utara
  1. Sri Manganti
  1. Pusat Kraton
  1. Kemagangan
  1. Kemandungan Kidul
  1. Alun alun selatan sampai siti hinggil selatan
Sedangkan secara tata ruang keraton di susun dengan pola kosentrik yakni :
  1. Lapisan luar, disini terdapat Alun alun utara dan selatan dengan masing masing antributnya. Alun alun utara dengan Masjid Agung, Pekapalan, Pagelaran dan pasar yang membentuk catur gatara tunggal. Alun - alun dengan Kandang Gajah kepatihan sebagai prasaranan birokrasi dan Benteng sebagai prasarana militer.
  1. Lapisan kedua, Siti Hinggil merupakan halaman dengan pelataran yang ditinggikan. Ini juga terdapat di sisi utara dan selatan. Siti Hinggil utara ada bangsal witana dan bangsal manguntur tangkil tempat untuk mengadakan upacara kenegaraan, sedangkan siti hinggil selatan digunakan untuk melihat latihan keprajuritan. Bagian terakhir pada lapisan kedua ini adalah supit urang/pamengkang yaitu jalan yang melingkari Siti Hinggil.
  1. Lapisan ketiga berupa Pelataran Kemandhungan utara dan selatan. Ini merupakan ruang transisi menuju pusat. Pada pelataran kemandungan utara terdapat bangsal pancaniti sebagai tempat sultan melakukan pengadilan khusus perkara yang ditangani raja. Selain itu sebagai ruang tunggu abdi dalem untuk menghadap raja.
  1. Lapisan ke empat terdiri dari Pelataran Sri Manganti dengan bangsal Sri manganti sebagai ruang tunggu menghadap raja, dibagian ini juga terdapat bangsal trajumas di utara pelataran kemagangan dan bangsal kemagangan disisi selatannya.
  1. Lapisan akhir adalah merupakan pusatnya yakni terdapat pelataran kedhaton yang terdiri dari Tratag, Pendhopo, pringgitan dalem.
Sebagai penghubung antar pelataran dibatasi dengan benteng dan gerbang sehingga terdapat 9 gerbang pada 9 pelataran dan nama gerbang tersebut adalah Gerbang Pangurakan, Gerbang Brajanala, Gerbang Srimanganti, Gerbang Danapratapa, Gerbang Kemagangan, Gerbang Gadung Mlathi, Gerbang Kamandhungan, Gerbang Gadhing, dan Gerbang Tarub Agung
Untuk dapat melihat bagian bagian keraton ini pengunjung harus membayar tiket sebesar Rp. 5.000,- untuk bagian depan keraton antara lain pagelaran, siti hinggil dan sekitarnya sedangkan untuk yang bagian dalam keraton melalui Keben tiket sebesar Rp. 7.000,-

0 komentar:

Posting Komentar