DANAU SARANGAN


Kurang lebih lima kilometer menjelang lokasi wisata Telaga Sarangan dari arah Tawangmangu, tanjakan Irung Petruk ( Hidung Petruk ) sekaligus jalanan turunannya, amat mendominasi. Bagi mobil yang mesinnya tidak prima, dijamin tidak bakal kuat melewati tanjakan-tanjakan tersebut. Sebaliknya cara mengerem yang betul pun harus kita perhatikan ketika menuruni turunan-turunan yang amat curam, kalau tidak mau rem mobil menjadi blong. 

Ada sekitar delapan mobil yang tidak kuat menaiki tanjakan-tanjakan dari arah Telaga Sarangan kearah Tawangmangu ketika kami melintas. Terutama menjelang tanjakan Cemoro Sewu, yang merupakan tanjakan super tajam. Iseng-iseng kami berhenti sebentar di Cemoro Sewu, kemudian berbincang sebentar dengan Pak Arifin dan bertanya," Kenapa ya Pak ada mobil yang tidak kuat naik, bukankah dia tahu kalau medan yang akan dilalui itu terjal ?," Pak Arifin mengatakan ," Biasanya mobil-mobil yang mogok tersebut ( tidak kuat naik ) adalah orang yang belum tahu medan," jawab Pak Arifin.

Begitulah jalanan menuju Telaga Sarangan dari arah Tawangmangu, yang penuh dengan tanjakan dan turunan yang tajam serta berliku-liku. Namun jangan khawatir, kita akan disuguhi oleh pemandangan hutan yang hijau, angin pegunungan yang sejuk dan panorama yang menyejukkan hati. Sesaat kemudian sampailah kami di pintu gerbang Telaga Sarangan, dari gerbang tiket kita mesti masuk ke dalam lagi kurang lebih 500 meter lagi untuk sampai di telaga. Sepanjang jalan menuju telaga, di kanan kiri jalan dipenuhi oleh orang berjualan baju yang bergambar Telaga Sarangan.

Dilihat dari lokasinya, Telaga Sarangan merupakan obyek wisata alam di lereng sebelah timur Gunung Lawu, sekitar 16 km arah barat kota Magetan. Dengan luas sekitar 30 hektare dan kedalaman kurang lebih 28 meter dengan dilengkapi fasilitas hotel atau penginapan, jasa perahu dan jasa berkuda sangat cocok sebagai tempat rekreasi keluarga. Fasilitas rekreasi pertama yang kami tuju adalah naik speed boat, karena kebetulan selepas parkir mobil langsung dihampiri oleh Pak Warsono ( 46 ) salah satu pengemudi boat. Setelah ada kesepakatan harga, yaitu 35 ribu rupiah untuk satu kali trip akhirnya kami pun mengelilingi telaga dengan boat.Sampai di telaga pun hampir menjumpai suasana yang sama seperti jalanan uatama untuk masuk ke telaga ini. Hanya dipisahkan jalanan yang hanya pas untuk dua mobil, diseberang jalan hampir dipenuhi orang berjualan souvenir dan barang-barang kerajinan lainnya dari Kabupaten Magetan. Agak sulit juga untuk mendapatkan tempat parkir karena suasana yang sangat ramai, namun setelah berputar-putar selama kurang lebih lima belas menit akhirnya dapat lokasi pakir juga. Setelah keluar dari mobil, kami mendapati cuaca disini yang lumayan panas, mungkin karena tempatnya terbuka dan ditambah dengan angin kemarau yang kering.
Dari dalam boat, air telaga kelihatan surut sekali, kurang lebih surut sekitar delapan meter. Karena batas dari air pasang sampai dengan air surut kelihat sangat jelas. Hal ini diakibatkan oleh jarangnya hujan karena kemarau panjang. “ Kalau musim hujan, air danau naik dan pemandangan terlihat lebih indah Pak, “ Kata Pak Warsono sambil mengemudikan perahu. Sambil mengemudikan boat nya, Pak Warsono terus ngobrol tentang telaga sarangan dengan kami. Termasuk adanya Labuh Sesaji, yaitu sebuah upacara ritual “Bersih Desa" yang diselenggarakan setiap tahun pada hari Jum’at Pon pada bulan Ruwah. Bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat desa atas berkah dari Yang Maha Kuasa atas segala berkah yang diberikan dengan wujud pelarungan persembahan ke dalam telaga.
Sate kelincilah yang menjadi pilihan kami, karena kebetulan di putaran akhir mobil, ada pedagang sate kelinci keliling yang membawa gerobagnya. Akhirnya kami turun dari mobil dan menimati lezatnya sate kelinci di tepi telaga. Saat-saat seperti ini memang jarang sekali kami temukan maka dari itu makan di tepi telaga sangat kami nikmati beserta seluruh rombongan yang ikut. Tak terasa setelah lama bersenda gurau, matahari pun mulai bergera ke ufuk barat, saatnya kami melanjutkan perjalanan.Setelah berputar hampir dua puluh menit, kami tiba kembali di tempat semula dan bersiap untuk mengitari telaga dengan jalan darat. Sebetulnya tertarik juga untuk mengelilingi telaga dengan naik kuda, namun karena cuaca siang itu cukup panas, akhirnya kami memutuskan untuk mengitari telaga dengan mobil. Sambil berjalan pelan dengan mobil, kami memeperhatikan sekeliling. Selain para penjual baju dan souvenir, ternyata rumah makan yang ada didominasi oleh soto ayam dan sate kelinci.

CANDI BOROBUDUR



Siapa tak kenal Candi Borobudur? Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Jutaan orang mendamba untuk mengunjungi bangunan yang termasuk dalam World Wonder Heritages ini. Tak mengherankan, sebab secara arsitektural maupun fungsinya sebagai tempat ibadah, Borobudur memang memikat hati.
Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.

Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.

Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha. YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini.
Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.